Sistem Kesenian Suku Karo

Kesenian adalah segala sesuatu yang diciptakan manusia untuk memenuhi keindahan. Sebagai wujud budaya, kesenian berkaitan dengan kebudayaan tentunya. Kesenian disebut sebagai media dalam mengekspresikan rasa keindahan yang berasal dari jiwa manusia. Tidak hanya itu saja, kesenian dapat digunakan untuk melanggengkan norma dan adat istiadat suatu masyarakat agar tidak lekang dimakan jaman. Maka tidak heran selain merujuk pada sisi estetika, kesenian menjadi simbol terhadap budaya suatu tempat. Kesenian memiliki fungsi yaitu :

  1. Fungsi Individu : karena bermanfaat dengan individu itu sendiri
  2. Pemenuhan kebutuhan fisik : manusia butuh pemuasan kebutuhan fisik sehingga kenyamanan dipandang penting. Manusia melakukan apresiasi pada keindahan sebagai sarana ini.
  3. Pemenuhan kebutuhan emosional : dalam memenuhi kebutuhan emosionalnya, manusia butuh dorongan dari luar berupa hal-hal yang mengandung estetika. Semakin banyak estetika maka semakin puas firinya. Kesenian pastinya mengandung estetika, sehingga kebutuhan emsional manusia terpuaskan.
  4. Fungsi Sosial : digunakan dalam memenuhi kebutuhan sosial
  5. Religi : kesenian dijadikan sarana bagi syiar keagamaan
  6. Pendidikan : kesenian mengajarkan nilai sosial, kerjasama, dan disiplin bagi manusia yang ingin menguasainya
  7. Komunikasi : kesenian dipakai untuk menyampaikan pesan
  8. Rekreasi : kesenian bisa membantu kita melepas kejenuhan karena menghibur
  9. Guna
  10. Kesehatan : kesenian dipakai untuk terapi medis

Sedangkan bentuk-bentuk dari sistem kesenian sendiri yaitu :

  1. Seni musik
  2. Seni tari
  3. Seni suara
  4. Seni sastra
  5. Seni kriya

 

Masyarakat Karo sebagai suatu peradaban kebudayaan juga memiliki sistem kesenian yang fungsinya dirasakan oleh mereka sendiri maupun orang diluar mereka. Adapun sejumlah kesenian yang telah diusung masyarakat Karo dari dulu adalah :

  • Seni suara : seni suara masyarakat Karo muncul secara bertahap. Dimulai dari suara-suara panjang yang digunakan untuk memamnggil binatang oleh seseorang. Memanggil binatang tidak hanya dilakukan oleh satu orang saja, sehingga banyak orang saling bersahutan suaranya dalam memanggil binatang. Karena bersahutan maka ditemukanlah nada tertentu. Kemudian berkembanglah kemampuan mengolah suara itu menjadi nyanyian dan lahirlah seni suara yang disebut Erkata Gendang. Orang yang menyanyikannya disebut sebagai Perende-rende, sedangkan lagunya disebut ende / enden.
  • Seni musik : Di dalam budaya masyarakat Karo, sebutan untuk para pemusik adalah sierjabaten, yang secara denotatif artinya adalah yang memiliki tugas. Sierjabaten terdiri dari pemain sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung. Setiap pemain alat musik dalam etnosains tradisional Karo mereka memiliki nama masing-masing, yaitu: pemain sarune disebut panarune, pemain gendang (singanaki dan singindungi) disebut penggual, dan pemain penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung disebut simalu gung, serta pemain mangkuk michiho disebut simalu mangkuk michiho. Adapun alat-alat musik ini dideskripsikan sebagai berikut.

 

  1. Sarune:

Alat musik ini adalah sebagai pembawa melodi dalam ensambel gendang lima sidalanen atau ensambel gendang sarune. Alat musik ini dapat diklasifikasikan ke dalam golongan aerofon reed ganda berbentuk konis. Sarune ini terbuat dari bahan kayu mahoni atau yang sejenisnya. Sarune ini secara struktural terdiri dari:

  • anak-anak sarune, terbuat dari daun kelapa dan embulu-embulu (pipa kecil) diameter 1 mm dan panjang 3-4 mm. Daun kelapa dipilih yang sudah tua dan kering. Daun dibentuk triangel sebanyak dua lembar. Salah satu sudut dari kedua lembaran daun yang dibentuk diikatkan pada embulu-embulu, dengan posisi kedua sudut daun tersebut;
  • tongkeh sarune, bagian ini berguna untuk menghubungkan anak-anak sarune. Biasanya dibuat dari timah, panjangnya sarna dengan jarak antara satu lobarg nada dengan nada yang lain pada lobang sarune;
  • ampang-ampang sarune, bagian ini ditempatkan pada embulu-embulu sarune yang berguna untuk penampang bibir pada saat meniup sarune. Bentuknya melingkar dengan dimneter 3 cm dan ketebalan 2 mm. Dibuat dari bahan tulang (hewan), tempurung, atau perak;
  • batang sarune, bagian ini adalah tempat lobang nada sarune, bentuknya konis baik bagian dalam maupun luar. Sarune mempunyai delapan buah lobang nada. Tujuh di sisi atas dan satu di belakang. Jarak lobang I ke lempengan adalah 4,6 cm dan jarak lobang VII ke ujung sarune 5,6 cm. Jarak- antara tiap-tiap lobang nada adalah 2 cm, dan jarak lubang bagian belakang ke lempengan 5,6 cm;
  • gundal sarune, letaknya pada bagian bawah batang sarune. Gundal sarune terbuat dari bahan yang sarna dengan batang sarune. Bentak bagian dalamnya barel, sedangkan bentuk bagian luarnya disebut Ukuran panjang gundal sarune tergantung panjang batang sarune yaitu 5,9 cm.

 

  1. Gendang, alat musik gendang adalah berfungsi membawa ritme variasi. Alat ini dapat diklasifikasikan ke dalarn kelompok membranofon konis ganda yang dipukul dengan dua stik. Dalam budaya musik Karo gendang ini terdiri dari dua jenis yaitu gendang singanaki (anak) dan gendang singindungi (induk). Gendang singanaki ditambahi bagian gerantung. Bagian-bagian gendang anak dan induk adalah sama, yang berbeda adalah ukuran dan fungsi estetis akustiknya. Bagian-bagian gendang itu adalah:
  • tutup gendang, yaitu bagian ujung konis atas. Tutup gendang ini terbuat dari kulit napuh (kancil). Kulit napuh ini dipasang ke bingkai bibir penampang gendang. Bingkainya terbuat dari bambu,
  • Tali gendang lazim disebut dengan larik gendang, terbuat dari kulit lembu atau napuh. Kayu gendang yang telah dilubangi yang disebut badan gendang terbuat dari kayu nangka Salah satu sampel contoh ukuran untuk bagian atas gendang anak adalah 5 cm, diameter bagian bawah 4 cm dan keseluruhan 44 cm. Ukuran gendang kecil yang dilekatkan pada gendang anak, diameter bagian atas 4 cm, diameter bagian bawah 3 cm, dan panjang keseluruban 11,5 cm. Alat pukulnya (stik) terbuat dari kayu jeruk purut. Alat pukul gendang keduanya sama besar dan bentuknya. Panjangnya 14 cm dan penarn.pang relatif 2 cm. Untuk gendang indung, diameter bagian atas 5,5 cm, bagian bawah 4,5 cm, panjang keseluruhan 45,5 cm. Bahan alat pukulnya juga terbuat dari kayu jeruk purut. Ukuran alat pukul ini berbeda yaitu yang kanan penampanguya lebih besar dari yang kiri, yaitu 2 cm untuk kanan dan 0,6 cm untuk kiri. Panjang keduanya sama 14 cm.
  • Gung dan penganak :

Yaitu pengatur ritme musik tradisional Karo. Gung ini diklasifikasikan ke dalarn kategori idiofon yang terbuat dari logam yang cara memainkannya digantung. Gung terbuat dari tembaga, berbentuk bundar mempunyai pencu. Gung dalam musik tradisional Karo terbagi dua yaitu gung penganak dan gung. Salah satu contoh ukuran gung penganak diameternya 15,6 cm dengan pencu 4 cm dan ketebalan sisi lingkarannya 2,8 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu dan dilapisi dengan karet. Gung mempunyai diameter 64 cm dengan pencu berdiameter 15 cm dan tebal sisi lingkarannya 10 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu dan dilapisi karet.

  • Mangkuk michiho, yaitu mangkuk yang diisi air, yang fungsinya secara musikal adalah untuk membawa ritme ostinato (konstan).
  1. Seni tari : Dalam bahasa Karo, tari disebut landek. Pola dasar dari tari Karo ialah: posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tari itu harus pula ditambah variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah. Di antara makna-makna perlambangan dalam tari Karo adalah sebagai berikut :
  • Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat.
  • Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampatsampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu.
  • Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pe la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, ataupun tak kenal maka tak sayang.
  • Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu. mengutarnakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat.
  • Gerakan tangan ke atas, melarnbangkan isepe la banci ndeher, siapa pun tak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan.
  • gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna.
  • Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan.
  • Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab.
  • Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima dengan segala senang hati.

Tari tradisional Karo dilihat dari bentuk dan acara penampilannya dapat dibedakan atas tugas jenis yakni:

  • Tari yang berkaitan dengan adat

Tari yang berkaitan dengan adat ialah tari yang dibawakan sewaktu adanya kegiatan adat. Misalnya, pada acara memasuki rumah baru disertai pemukulan gendang, pesta perkawinan, acara kematian, dan lain sebaginya. Tari adat biasanya dilakukan bersama kelompok marga atau kelompok sangkep nggeluh. Titik berat dalam penampilan tari pada acara adat ialah keseragaman dan kesopanan tanpa mengabaikan unsur keindahan. Hal tersebut dikarenakan tari dan gendang peranannya ialah untuk mengantarkan kelompok yang menari menyampaikan sepatah kata bagi keluarga yang mengadakan acara adat. Jadi tari yang dibawakan bukan untuk hiburan namun disisi lalin sebagai pelengkap kata dan untuk menarik perhatian semua orang yang hadir.

  • Tari yang berkaitan dengan religi

Tari yang berkaitan dengan religi biasanya dibawakan oleh datu (guru) yang pada saat-saat tertentu boleh diikuti oleh keluarga pelaksana acara religi. Tari yang dibawakan oleh datu, dukun, atau guru, disesuaikan dengan tari khusus bercorak religi, seperti: Tari Mulih-mulih, tari Tungkat, tari Erpangir ku Lau, tari Baka, tari Begu Deleng, tari Muncang, dan sebagainya. Semua gerakan tarian religi gerakannya disesuaikan dengan pengiring dan guru yang melakonkannya seperti kebiasaan di samping tekanan ilmu dan roh pengikutnya. Jadi jelas bahwa gerakan itu tidak merupakan gerakan yang teratur berdasarkan tata cara secara umum.

  • Tari yang berkaitan dengan hiburan

Tari yang berkaitan dengan hiburan dapat digolongkan sebagai tari umum. Penampilan tari itu agak luwes namun tidak terlepas dari unsur kehormatan, keserasian, dan keindahan. Tari yang sifatnya hiburan dibawakan oleh sepasang atau lebih muda-mudi, biasa juga dilakukan secara kelompok (aron). Tari yang bersifatnya hiburan mencakup bermacam jenis tari. Tari Topeng (gundala-gundala) salah satu tari yang dibawakan penari khusus yang berpengalaman. Tari Gundala-gundala tidak hanya menunjukkan gerak tetapi juga mengandung unsur ceria.

 

  1. Seni teater : Salah satu teater tradisional di Sumatera Utara adalah tembut-tembut dari budaya Karo. Tembut-tembut di daerah Karo yang terkenal sampai sekarang adalah yang ada di daerah Seberaya sehingga sering disebut tembut-tembut Seberaya. Tema ceritanya adalah hiburan bagi raja yang ditinggal mati anaknya. Terciptanya tembut-tembut Seberaya tidak dapat dipastikan secara tepat. Namun menurut penjelasan para infonnan, dapat diperkirakan berdasarkan tahun serta penyajiannya di Batavia Fair yaitu tahun 1920. Berdasarkan tahun di atas, para informan memperkirakan terciptanya tembut-tembut adalah sekitar tahun 1915. Awalnya berfungsi hiburan untuk menyenangkan hati masyarakat yang menontonnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyajiannya digunakan dalam konteks upacara ndilo wari udan (upacara memanggil hujan). Kapan mulai pemakaian tembut-tembut dalarn konteks ndilo wari udan pun tidak diketahui secara pasti. Tembut-tembut Seberaya terdiri dari dua jerris karakter (perwajahan) yaitu karakter manusia dan karakter hewan. Karakter manusia terdiri dari empat tokoh (peran) yaitu: satu bapa (ayah), satu nande (ibu), satu anak dilaki (putra), dan satu. anak diberu (putri). Karakter binatang hanya mempunyai satu tokoh (peran) yaitu si gurda-gurdi (burung enggang). Jalannya pertunjukan tembut-tembut adalah dimulai dengan membawa tembut-tembut serta kelengkapannya ke tempat penyajian. Di tempat penyajian, masing-masing pemain memakai tembut-tembut dan pakainnya sesuai dengan perannya masing-masing. Selepas itu, pemimpin penyajian menyuruh pemain musik supaya memainkan gendang dengan ucapan: “Palu gendang ena” artinya “Mainkan musiknya.” Pemain musik memainkan gendang dan pernain tembut-tembut mulai menari. Posisi pernain tembut-ternbut menari pada mulanya sejajar membela-kangi pernain musik. Posisi ini dipertahankan hingga pemusik memainkan dua buah lagu yaitu lagu Perang Empal Kali dan lagu Simalungen Rayat. Pada lagu ketiga yaitu lagu Kuda-kuda posisi penari mulai berubah, pola tarinya tidak mempunyai struktur yang baku dilakukan secara improvisasi. Penari yang memainkan karakter burung enggang selalu seolah-olah ingin mematuk tokoh (peran) anak diberu (anak perempuan). Penari yang berkarakter ayah berusaha menghalangi gangguan burung enggang tersebut. Bila pemain yang berkarakter ayah gagal menghalanginya maka pemain yang berkarakter anak laki-laki datang membantu. Demikian lakon pemain penari dapat dilihat pada waktu pertunjukan diiringi dengan lagu Kuda-kuda dan lagu Tembutta, tetapi gerakan tari yang diiringi lagu Tembutta lebih cepat karena meter lagu Tembutta lebih cepat dibandingkan meter lagu Kuda-kuda.
  2. Seni ukir :

Pada awalnya masyarakat Karo memakai ukiran untuk jimat tolak bala, namun dalam perkembangannya dipakai untuk estetika. Motif ukiran Karo melambangkan manusia, binatang, dan alam. Beberapa motif ukiran khas Karo adalah tupak salah silima-lima, tupak salah sipitu-pitu, desa siwaluh, panai, bindu metagah, bindu matoguh, tapak raja Sulaiman, pantil manggus, indung-indung simata, tulak paku petundal, lipan nangkih tongkeh, kite-kite perkis, tutup dadu/cimba lau, cenkili kambing, Ipen-ipen, lukisan suki, pucuk merbung bunga bincole, surat buta, pengretret, bendi-bendi (pengalo-ngalo), embun sikawiten, pucuk tenggiang, litab-litab lembu, lukisan tonggal, keret-keret ketadu, taruk-taruk, kidu-kidu, lukisan pendamaiken, bulang binara, tanduk kerbau payung, bunga gundur, raja Sulaiman, bunga lawang, tudung teger, lukisan umang, lukisan para-para (gundur mangalata), embun sikawiten II, tulak paku, lukisan kurung tendi, osar-osar, ukiren sisik kaperas, galumbang sitepuken, ukiren kaba-kaba, likisen tagan, dan masih banyak lagi jenis ornamen yang lain.

  1. Seni tenun :

Masyarakat Karo menyebut seni tenun sebagai Mbayu. Tenunan ini salah satunyan menjadi pakaian, ataupun kain hias. Pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (semacam tumbuhan). Secara umum pakaian tradisional Karo dapat dibagi tiga bagian, yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan pakaian kebesaran. Pakaian sehari terdiri dari pakaian untuk pria yaitu batu gunting cina lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang serta sarung. Sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat, sarung (abit), tutup kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang diselempangkan. Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya saja, pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan sopan. Dan, pakaian kebesaran terdiri dari pakaian-pakaian yang lengkap serta digunakan pada saat pesta seperti pesta perkawinan, memasuki rumah baru, upacara kematian, dan pesta kesenian. Ragam atau jenis pakaian tradisional Karo ialah sebagai berikut :

  1. Uis Arinteneng

Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan untuk alas pinggan pasu-pasu tempat Emas Kawin, alas pinggan pasu tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam setelah selesai pesta adat, sebagai pembalut tiang pada peresmian atau acara memasuki adat rumah, dan membayar hutang adat kepada kalimbubu dalam acara kematian.

  1. Uis Julu

Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan corak garis-garis putih berbentuk liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah dan hitam disebut Keteng-ketang Bujur. Ada yang disebut keteng-keteng sirat yang diberi ragam corak ukiran. Pinggir ujungnnya memilii rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai gonje (sarung laki-laki), membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, dan untuk selimut (cabin).

  1. Uis Teba

Hampir sama dengan sama dengan uis julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba agak jarang sedangkan Uis Julu agak rapat. Warnanya hitam, pinggiran ujungnya memiliki rambu/jumbai. Pakaian ini juga diketeng-keteng, warnanya merah putih ada juga yang berukir dan tebal. Pakaian ini digunakan untuk maneh-maneh; bagi perempuan yang meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran kepada pihak mempelai perempuan.

  1. Uis Batu Jala, dan pakaian-pakaian yang lain seperti Uis Kelam-kelam, Uis Beka Buluh, Uis Gobar Dibata, Uis Pengalkal, Gatib Gewang, Uis Kapal Jongkit, Gatip Cukcak, Uis Gara-Gara, Uis Perembah, Uis Jujung-Jujungen, Uis Nipes Ragi Mbacang, uis Nipes Padang Rusak, Uis Nipes Mangiring, dan Uis Nipes Benang Iring.

 

  1. Seni bangunan ( Mbangun ) : Dalam suku Karo, begitu banyak seni bangunan yang dihasilkan. Bukan semata rumah adat tetapi juga banyak lain. Pada dasarnya fungsi dari bangunan lain itu, tidak jauh beda dengan fungsi rumah adat si waluh jabu tersebut. Berikut adalah Beberapa jenis karya seni bangunan lain dalam masyarakat Karo.
  2. Geriten

Geriten adalah rumah kecil yang beratap ijuk berbentuk segi empat dengan empat tiang setinggi l.k. 6 m. Bagian bawah dapat digunakan sebagai tempat duduk dan di sebelah atas khusus untuk tengkorak para leluhur yang disimpan dalam kotak-kotak khusus.

  1. Jambur

Bangunan agak luas beratap ijuk, yang digunakan sebagai tempat musyawarah keluarga atau ke kerabat atas dasar Dalinken Si Telu. Dan dewasa ini sudah digunakan untuk pesta karo, baik suka cita/ perkawinan dan sebagainya atau duka cita.

  1. Batang : Batang merupakan tempat padi atau yang sama fungsinya dengan lumbung padi.
  2. Lige-lige

Lige-lige merupakan suatu bangunan yang dibuat dari kayu dan bambu, bersegi empat, dengan tinggi k.l. 15 meter dan di sekelilingnya dipasang daun muda enau (janur). Ini merupakan tempat yang digunakan untuk kuburan bagi para leluhur yang telah mati dan dikuburkan kembali. Acara di tempat ini digunakan dengan menggunakan gendang serune untuk acara tari-tarian atau acara adatnya.

  1. Kalimbaban

Kalimbaban memiliki bentuk yang hampir sama dengan lige-lige tepi kalimbaban lebih besar. Dan upacara adat penguburan leluhur pun lebih besar dari pada upacara narik lige-lige.

  1. Sapo gunung L Adalah bangunan kecil seperti rumah yang dibangun beratap ijuk digunakan sebagai tempat mayat yang diusung dari rumah duka ke kuburan.
  2. Lipo : Adalah bangunan berbentuk rumah kecil beratap ijuk sebagai kandang ayam dan burung peliharaan.

Leave a comment